Jakarta – Ekspor pasir dan hasil sedimen laut yang dibuka setelah ditutup selama 20 tahun, yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024.
Presiden Joko Widodo pun telah mengizinkan penjualan pasir laut, tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Doni Ismanto menyatakan ada perusahaan sedang antri mengurus perizinan pengelolaan pasir laut. Perizinan itu masih dalam tahap verifikasi dan evaluasi.
“Betul terdapat 66 perusahaan yang sudah dilakukan verifikasi dan evaluasi,” kata Doni melalui aplikasi perpesanan pada Jumat malam, 13 September 2024.
Dia mengatakan, tahapan selanjutnya adalah KKP memastikan 66 perusahaan harus memenuhi persyaratan yang terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Hasil Pengelolaan Sedimentasi di Laut dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Soal peraturan pelaksanaan seperti tertulis dalam Pasal 27 ayat 9, pelaku usaha yang mengajukan permohonan Izin pemanfaatan pasir laut harus memenuhi lima kriteria, yaitu bergerak di bidang pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut yang meliputi pembersihan dan pemanfaatan dengan teknik khusus, pengangkutan, penempatan, penggunaan, dan penjualan hasil sedimentasi di laut. Perusahaan harus membuktikan dengan kepemilikan kartu pelaku usaha dan pelaku pendukung sektor kelautan dan perikanan.
Badan usaha berbentuk perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia yang memiliki rencana pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan pelaku usaha ke masyarakat di lokasi pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut.
Menggunakan peralatan untuk melakukan pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut, berupa peralatan pendukung dengan teknologi khusus. Memiliki kemampuan modal, sumber daya manusia, dan teknologi sesuai kapasitas pekerjaan. Dan tidak memiliki riwayat pelanggaran perizinan berusaha di sektor kelautan dan perikanan.
“Apabila 66 perusahaan itu tidak memenuhi persyaratan, maka perusahaan tersebut tidak akan mendapatkan izin,” ujar Doni. Sejauh ini, Doni mengakui belum ada perusahaan yang sudah mendapatkan perizinan penambangan pasir laut.
Dia menjelaskan, KKP telah mengumumkan tujuh lokasi pembersihan hasil sedimentasi tersebar di perairan laut Jawa, Selat Makassar, Natuna, dan Natuna Utara.
Secara rinci tujuh lokasi itu berada laut Kabupaten Demak, Kota Surabaya, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, perairan sekitar Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan, serta perairan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.
Doni pun menyebutkan bahwa bahwa harga pasir laut untuk ekspor sendiri, valuasinya dipatok untuk harga dalam negeri senilai Rp 93.000 per meter kubik dan harga patokan luar negeri Rp 186.000 per meter kubik. Menurut dia patokan harga itu diatur dalam Keputusan Menteri KKP Nomor 6 Tahun 2024.
Sejarah kelam ekspor pasir laut
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag), resmi membuka keran ekspor pasir laut. Sebelumnya, selama 20 tahun, mengapalkan pasir laut ke luar negeri adalah aktivitas ilegal.
Aktivitas melegalkan aktivitas pengerukan dan pengiriman pasir laut dari wilayah Indonesia untuk kemudian dijual ke luar negeri diatur dalam Permendag Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024.
Kedua Permendag ini merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang diteken Jokowi pada Juni 2023 lalu.
Dalam PP tersebut, Jokowi beralasan pengerukan pasir laut diperbolehkan dengan alasan pembersihan sedimentasi dan menjaga ekosistem. Pasir laut itu kemudian diizinkan untuk diekspor dengan syarat kebutuhan dalam negeri sudah tercukupi.
Sejak era Presiden Megawati Soekarno Putri hingga Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), baik eksploitasi pasir laut maupun dengan alasan semacam pemanfaatan sedimentasi hasil keruk untuk diekspor adalah aktivitas ilegal.
Pengerukan pasir laut untuk dijual ke luar negeri kala itu jadi kontroversi. Ini karena aktivitas ini membuat kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Imbasnya, nelayan terpuruk karena hasil tangkapannya merosot.
Dampak yang lebih ekstrem lagi, ekspor pasir laut memicu tenggelamnya pulau-pulau kecil akibat pasirnya dikeruk dan makin diperparah dengan abrasi setelahnya.
Salah satu daerah yang marak eksploitasi pasir laut adalah Kepulauan Riau. Sejak 1976 hingga 2002, pasir dari perairan Kepri dikeruk untuk mereklamasi Singapura.
Volume ekspor pasir ke Singapura sekitar 250 juta meter kubik per tahun. Pasir dijual dengan harga 1,3 dollar Singapura per meter kubik. Padahal seharusnya harga dapat ditingkatkan pada posisi tawar sekitar 4 dollar Singapura.
Pengerukan pasir secara besar-besaran untuk diekspor ke Singapura juga hampir membuat Pulau Nipah di Batam tenggelam karena abrasi. Padahal, pulau itu menjadi salah satu tolok ukur perbatasan Indonesia dengan Singapura. Meskipun telah dilarang sejak 2003, ekspor pasir laut ke Singapura masih terus berlangsung secara ilegal setidaknya hingga 2012.
Pada 2007 lalu, Freddy Numberi yang saat itu menjabat sebagai Menteri KKP mengakui bahwa ekspor pasir laut untuk reklamasi Singapura sempat menghilangkan dua pulau milik Indonesia. Oleh karena itu, pihaknya menegaskan larangan ekspor tersebut.
“Pulau Nipah dan Sebatik sempat hilang, karena pasir yang ada dikeruk untuk dijual ke Singapura. Jadi, ekspor pasir laut itu merugikan, karena itu saya hentikan,” tegasnya pada Mei 2007, dikutip dari Antara.
Pulau Nipah terletak di Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Nipah adalah bagian dari gugusan pulau yang berada di bagian terluar Indonesia, di mana berbatasan langsung dengan Singapura.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada 2004 lalu mengatakan pulau tak berpenghuni itu hampir tenggelam. Dari luas area sekitar 60 hektare saat air surut, hanya tinggal seonggok tanah tersisa tidak lebih dari 90×50 meter saat air pasang.
Soenarno yang saat itu menjabat sebagai Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah meninjau langsung Pulau Nipah yang berjarak 4,8 mil barat laut dari Pulau Batam itu. Ia menyebut butuh 2 juta kubik pasir untuk mereklamasi pulau tersebut.
“Paling tidak dibutuhkan dana Rp100 miliar untuk mereklamasi 60 hektare pulau ini,” kata Soenarno dalam kunjungan bersama Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri saat itu.
Pada 2007 lalu, Denny Novendy yang masih berstatus Laksamana Pertama TNI dan menjabat Komandan Gugus Keamanan Laut Armada Kawasan Barat RI mengatakan wilayah Indonesia semakin sempit imbas ekspor pasir laut. Ia mengamini bahwa banyak pulau yang hilang.
“Semakin maju (luas) daratan Singapura, maka perhitungan perairannya pun menjadi maju. Wilayah perairan RI pun menjadi mundur. Sudah banyak pulau yang hilang kala air laut pasang,” ujar Denny saat itu.
Dikutip dari laman Mothership, impor pasir luat dari Indonesia membuat Singapura untung berlipat. Luas daratan Singapura sebelum merdeka dari Malaysia adalah 578 kilometer persegi. Saat ini, luasnya sudah bertambah 719 kilometer alias sudah bertambah 25 persen lebih.
Proyek reklamasi besar pertama pasca-kemerdekaan adalah Reklamasi Pantai Timur (East Coast Reclamation). Proyek ini dijuluki dengan Great Reclamation. Proyek ini menargetkan lahan baru seluas 1.525 hektar di sepanjang wilayah pantai sisi tenggara negara ini.
Proyek-proyek reklamasi di Singapura sendiri selama ini dijalankan oleh Housing and Development Board (HDB), lembaga yang mengatur pembangunan gedung dan perumahan di seluruh Singapura.
Namun pertama-tama sebelum Great Reclamation digeber, proyek percontohan dilakukan oleh HDB pada tahun 1963 untuk mereklamasi 48 hektare di area Bedok.
Pekerjaan di lokasi Reklamasi Pantai Timur dimulai secara resmi pada tahun 1966 dan berlanjut selama 30 tahun yang dibagi dalam tujuh tahap.
Total biaya proyek Pantai Timur adalah 613 juta dollar Singapura. Pasir-pasir ini kebanyakan diimpor dari Kepulauan Riau, Indonesia.
Pasir-pasir dari Kepri ini kemudian diangkut dengan kapal-kapal tongkang lalu kemudian diangkut menuju ke area reklamasi, pasir yang selesai diuruk kemudian diratakan dan dikuatkan dengan eskavator. Seluruh operasi dilakukan sepanjang waktu, kontruksinya dilakukan dengan membangun daratan menjorok atau tanjung terlebih dahulu guna melindungi garis pantai dari ombak, baru kemudian diuruk di bagian tengahnya.
Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Walhi mendesak Presiden Jokowi mencabut PP No 26/2023 yang membuka lagi tambang dan ekspor pasir laut. Semakin banyak pulau kecil di Indonesia yang menghilang.
“Kami mendesak Presiden Jokowi mencabut PP 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Dan, moratorium permanen tambang pasir laut dan reklamasi pantai di Indonesia,” kata Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional, Parid Ridwanuddin dalam diskusi virtual di Jakarta, Rabu (31/5/2023).
Dalam PP 26/2023 itu, kata Parid, membuka ruang bagi perusahaan untuk mengekspor pasir laut ke luar negeri, jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi. Artinya, kegiatan tambang pasir laut akan terus terjadi, bahkan bisa semakin ugal-ugalan. Jangan heran bila banyak pulau kecil menghilang, karena dikeruk pasirnya.
“PP Nomor 26 2023 ini ancaman bagi pulau-pulau kecil. Ingat, Indonesia adalah negara kepulauan. Banyak pulau yang sudah hilang, termasuk sejumlah pesisir yang rusak akibat pengerukan pasir laut secara serampangan,” ungkapnya.
Mengingatkan saja, selain meneken PP 26/2023 pada 15 Mei 2023 itu, Jokowi juga mencabut Keppres No 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut yang dikeluarkan Presiden Megawati.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono buru-buru membantah PP 26/2023 bertujuan untuk menjual negara. “Bukan menjual negara. Ini tidak menjual negara,” kata Menteri Trenggono yang dikenal pengusaha BTS itu.
(ind/sindo/kompas/cnn)