Jakarta – Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) menyebut peredaran rokok ilegal semakin meningkat. Data terbaru ada sekitar 7% dari total produk rokok yang tersebar di Indonesia merupakan rokok ilegal.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Gaprindo Benny Wahyudi. Dia mengatakan informasi ini didapatkannya dari sang teman yang bekerja di Kementerian Keuangan.
“Rokok ilegalnya meningkat menurut informasi dari kawan-kawan Kemenkeu hampir 7%,” kata Benny dalam acara detikcom Leaders Forum 2024 di Aruba Room Kota Kasablanka, Jakarta Selatan, Rabu (29/5/2024).
Di sisi lain, maraknya rokok ilegal yang beredar diiringi dengan penurunan produksi rokok. Benny menyebut produksi rokok turun lebih dari 10% per tahun.
Untuk rokok putih, produksinya menjadi 10 miliar batang per tahun dari sebelumnya 15 miliar batang per tahun. Dia menilai penurunan produksi ini tak membuat prevalensi perokok pada anak-anak menurun.
“Untuk rokok putih, (produksinya) dari sebelumnya 15 miliar batang per tahun sekarang sudah di bawah 10 miliar. Artinya turun lebih dari 10%. Situasinya memang seperti ini, tapi rokok ilegal terus naik. Maka prevalensi perokok belum tentu turun,” jelasnya.
Imbasnya, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) juga mengalami penurunan. Sebelum pandemi, tepatnya pada tahun 2019, total penerimaan negara dari CHT serta pajak pertambahan nilai (PPN) lebih dari Rp 350 triliun. Pada tahun 2023, penerimaan negara dari CHT hanya di angka Rp 213 triliun.
“Secara nasional turun dari Rp 350 triliun sebelum covid menjadi di bawah Rp 213 triliun. Kita dibatasi, dikurangi produksinya, di lain pihak rokok ilegalnya meningkat,” terangnya.
Industri Hasil Tembakau jadi salah satu sektor usaha yang memiliki pengaruh sangat terhadap perekonomian RI. Bahkan kontribusi sekotor ini terhadap (Produk Domestik Bruto) PDB nasional pada 2023 lalu mencapai 4,22%.
Sayang dalam beberapa waktu terakhir ini malah marak penjualan rokok ilegal di pasar Indonesia. Bahkan jumlah peredaran rokok ilegal saat ini diperkirakan mencapai 7% dari total penjualan produk tembakau nasional.
Ekonom Center of Industry, Trade and Investment INDEF Ahmad Heri Firdaus mengatakan maraknya peredaran rokok ilegal ini dapat memberikan dampak buruk, baik terhadap negara maupun masyarakat. Misalkan saja menurunkan pendapatan negara dari sektor IHT mengingat rokok-rokok ilegal ini tidak menggunakan pita cukai maupun membayar pajak dengan semestinya.
Namun yang menjadi persoalan adalah, peredaran rokok ilegal ini diperkirakan juga bisa menjadi salah satu penyebab banyak pelajar atau masyarakat di bawah umur yang menjadi konsumen rokok.
“Konsekuensi dari peredaran rokok ilegal ini kan selain merugikan negara (mengurangi pendapatan), ini juga mudah diakses oleh masyarakat yang daya belinya relatif rendah apalagi misalnya anak-anak yang cuma mengandalkan uang jajan,” kata Ahmad dalam acara yang sama.
Ahmad menjelaskan kalangan pelajar atau masyarakat di bawah umur rata-rata tidak memiliki daya beli yang tinggi terhadap produk-produk industri hasil tembakau. Sebab mayoritas di antara mereka masih mengandalkan uang jajan untuk membeli produk tembakau seperti rokok.
Di sisi lain, rokok-rokok ilegal yang berada di pasaran dijual dengan harga yang sangat murah. Sehingga terjangkau oleh kelompok masyarakat dengan daya beli rendah, termasuk para pelajar tadi.
“Kemampuan si anak ini kan kalau membeli rokok yang harganya relatif murah. Sementara rokok murah itu ya identik dengan rokok-rokok yang tadi, ilegal. Harganya jauh di bawah harga yang resmi,” ucap Ahmad.
“Mengingat kalau harga rokok legal atau rokok yang resmi itu kan setiap tahun bisa di 10-20%. Kalau uang jajan anak naiknya kira-kira segitu nggak ya? nggak kan ya (karena itu banyak pelajar yang akhirnya membeli rokok ilegal),” jelasnya lagi. (detikcom)
