Tel Aviv – Serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 memicu perang yang berlangsung hingga saat ini di Gaza. Zionis, dengan memanfaatkan simpati dari dunia Barat di tengah laporan tentang kejahatan Hamas dalam serangan tersebut melancarkan kampanye pengeboman yang menargetkan warga sipil Palestina dan memicu genosida di Gaza.
Namun, nyatanya banyak tuduhan yang dibuat Israel dan sekutunya, terutama Amerika Serikat (AS) tentang serangan 7 Oktober tersebut adalah klaim yang salah dan telah terbantahkan.
Berikut beberapa kebohongan Israel terkait serangan yang oleh Hamas diberi tajuk Operasi Badai Al Aqsa itu, sebagaimana dilansir Sputnik:
Jumlah Korban Tewas Serangan 7 Oktober: Siapa yang Membunuh Siapa?
Sekira 1.195 warga Israel dan warga negara asing tewas dalam serangan 7 Oktober, dengan 815 di antanya warga sipil. Sebanyak 251 orang dijadikan sandera dan dibawa ke Gaza sebagai alat negosiasi dan pertukaran sandera.
Media melaporkan bahwa dalam serangan tersebut Hamas melakukan eksekusi yang cepat dan luas terhadap warga sipil dan tentara Israel, yang digambarkan sebagai tindakan keji dan biadab. Namun, belakangan penyelidikan pada Juni mengungkapkan bahwa militer Israel “dalam beberapa insiden” menembaki dan membunuh warga dan tentaranya sendiri pada 7-9 Oktober 2023.
Pada bulan yang sama, sebuah laporan PBB mengungkapkan bahwa setidaknya 14 warga sipil Israel kemungkinan dibunuh dengan sengaja oleh pihak mereka sendiri pada 7 Oktober ketika IDF menerapkan apa yang disebut Doktrin Hannibal – sebuah perintah kontroversial yang menginstruksikan personel militer untuk melenyapkan rekan-rekan mereka sendiri untuk mencegah mereka ditangkap.
Pada April, militer Israel mengakui secara terbuka bahwa seorang sandera tewas akibat tembakan helikopter Israel pada tanggal 7 Oktober saat Hamas berupaya menyanderanya.
Selain itu beberapa laporan penyelidikan lain, yang dilakukan media Israel mengungkap bahwa militer Israel telah membunuh warganya sendiri dalam upaya menewaskan pejuang Hamas, dan pelaksanaan dari Doktrin Hannibal di sejumlah wilayah dan kota di perbatasan Israel-Gaza.
Kekerasan yang tampak membabi buta dari operasi Israel tampaknya berlanjut hingga invasi darat ke Gaza, dengan IDF mengonfirmasi pada Desember 2023 bahwa setidaknya 20 dari 105 tentara yang tewas dalam dua bulan pertama operasi telah tewas karena tembakan kawan dan “kecelakaan” yang terkait dengan “persenjataan, mesin, penginjakan” dan “penyimpangan penembakan.”
Tuduhan Tentang Bayi yang Dipenggal
Di antara klaim kejahatan paling mengkhawatirkan yang dituduhkan kepada Hamas adalah tentang pemenggalan hingga 40 bayi pada serangan 7 Oktober. Tuduhan tersebut – pertama kali dibuat oleh saluran berita pro Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang mengutip tentara dan petugas penyelamat anonim, dan diperkuat oleh Juru Bicara IDF Jonathan Conricus.
Namun, setelah klaim itu menyebar ke seluruh dunia, pejabat Israel mengatakan bahwa mereka tidak dapat memverifikasinya. Pada 12 Oktober, kantor Netanyahu merilis gambar-gambar mengerikan dari anak-anak yang tampaknya telah meninggal pada 7 Oktober, tetapi tidak satu pun dari mereka menunjukkan tanda-tanda telah dipenggal.
Klaim bayi yang dipenggal itu diulang-ulang oleh Presiden AS Joe Biden, yang mengklaim beberapa kali setelah tanggal 7 Oktober bahwa ia secara pribadi telah melihat dan telah “mengonfirmasi gambar-gambar teroris yang memenggal anak-anak,” menggemakan klaim serupa yang dibuat oleh juru bicara Netanyahu.
Pada November 2023, sebuah laporan Washington Post yang mengutip para pejabat mengatakan bahwa para pembantu presiden telah menasihatinya untuk “memotong pembicaraan tentang Hamas yang memenggal kepala bayi karena laporan tersebut tidak diverifikasi,” tetapi tampaknya diabaikan.
Dalam penyelidikan mendalam terhadap tuduhan tersebut pada April lalu, media Prancis menunjukkan perbandingan antara cerita tentang bayi yang dipenggal dan berita bohong tentang bayi Kuwait di dalam inkubator menjelang Perang Irak tahun 1991.
Media tersebut menggambarkan cerita tersebut sebagai “rumor yang menjadi inti dari pertempuran informasi antara Israel dan Hamas,” dan mengindikasikan, mengutip kantor pers pemerintah Israel, bahwa tidak ada bukti yang mendukung tuduhan tersebut.
Klaim Hamas Menggunakan Kekerasan Seksual
Klaim lain yang tersebar luas yang dibuat oleh pejabat Israel dan diulang oleh media dan pejabat Barat setelah 7 Oktober adalah tuduhan bahwa pejuang Hamas secara sistematis memperkosa dan memutilasi banyak wanita selama penyerangan mereka. Pejabat Israel berulang kali mengemukakan klaim tersebut sebagai tanda lain dari kebiadaban Hamas.
Cerita itu pertama kali menjadi arus utama setelah artikel yang meledak pada Desember 2023 di New York Times berjudul “Screams Without Words: How Hamas Weaponized Sexual Violence on Oct. 7”. Laporan investigasi selanjutnya oleh The Grayzone dan The Intercept, yang kemudian didukung oleh media arus utama, menemukan bahwa tidak ada bukti yang mendukung tuduhan pemerkosaan dan penyiksaan seksual yang meluas sebagai bagian dari strategi Hamas.
Dengan menyelidiki latar belakang wartawan di balik artikel NYT, media menemukan bahwa salah satu dari mereka – Anat Schwartz, adalah mantan pejabat intelijen Angkatan Udara Israel yang tidak memiliki pengalaman pelaporan sebelumnya.
Pada April 2024, lebih dari 50 profesor jurnalisme dari sekolah-sekolah top AS menandatangani seruan bersama yang menyerukan NYT untuk mengatasi kelemahan utama dalam laporannya, mulai dari kurangnya dukungan dan bukti pendukung dari kesaksian saksi, hingga ketidakkonsistenan dan kontradiksi dalam kesaksian dari laporan di media lain.
Investigasi selanjutnya oleh Associated Press dan The Times menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang menguatkan klaim NYT tentang pemerkosaan sistematis.
Sebuah laporan oleh Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia dari Juni 2024 tampaknya memberikan sedikit penyelesaian pada masalah tersebut, yang menunjukkan setelah peninjauan menyeluruh atas kesaksian kepada media dan polisi Israel bahwa mereka “tidak… dapat memverifikasi secara independen” klaim pemerkosaan massal dan penyiksaan.
Komisi tersebut “tidak menemukan bukti yang kredibel… bahwa militan menerima perintah untuk melakukan kekerasan seksual dan karenanya tidak dapat membuat kesimpulan tentang masalah ini,” dan menuduh otoritas Israel dengan sengaja “menghalangi akses komisi terhadap informasi” yang terkait dengan tuduhan tersebut, termasuk dengan melarang dokter berbicara dengan penyelidik.
(ind/bbs)